[Traveling] Perjalanan Liburan Seru dari Singapura ke Honolulu, Hawaii (Part 1 : Paspor Ketinggalan Saat Sudah di Airport Changi Singapore)


Setelah beres mengurus visa Amerika di Singapura, membeli tiket pesawat ke Honolulu dan memesan hotel - akhirnya hari keberangkatan yang ditunggu-tunggu datang juga. Penerbangan dari Singapura ke Honolulu ini akan menjadi penerbangan kami terjauh dan terlama sepanjang 2 tahun 4 bulan usia perkawinan kami. Waktu tempuh penerbangan Singapura ke Honolulu akan memakan waktu 7 jam dengan waktu transit 2 jam di Kansai Airport, Osaka sebelum akhirnya menempuh 7 jam penerbangan lanjutan dari Osaka ke Honolulu.

Budget Airlines
Kami pilih Scoot karena harganya dan waktu transitnya paling masuk akal. Kami sempat menghitung harga lepasan apabila harga kursi ditambah dengan pesan makanan on board sebanyak yang akan kita dapat di pre-order meal service; harganya cuma beda tipis dengan ambil combo-nya (meal + baggage) jadi kami putuskan memilih combo dengan fasilitas 2 kali makan (Singapura - Osaka dan Osaka - Honolulu) berikut bagasi 20kgs di harga SGD 926.59 untuk tiket pulang pergi per orang (3-13 Februari 2018)

Harga tiket kami bukan yang termurah karena beberapa hari sebelum keberangkatan harga kursi saja yang sudah terlanjur kami beli seharga SGD 300 per orang 1 kali jalan turun menjadi SGD 200 per orang. Jleb rasanya!

Ya, setidaknya dengan keberangkatan yang cukup mendadak, harga yang kami dapat bisa dibilang... OK lah! Itung-itung sekalian belajar melepas apa yang sudah terjadi dan berlalu.

Penginapan di Honolulu 
Sejauh ini, perjalanan kami berdua masih di seputaran negara Asia - itupun baru sebagian kecil yang baru terjelalah, dan biasanya kami (saya tepatnya) selalu mau cari yang harga murah tapi fasilitas OK. Perempuan gitu loh. Rekor kami menginap di kamar privat paling rendah SGD 20 dan paling mahal SGD 50, dan kali ini saya makin tertantang untuk cari hotel punya fasilitas bagus dan murah tentunya. Tapi ini negara bagian Amerika lho, Honolulu, mata uangnya pakai Dollar Amerika.

Deng dong deng dong deng....

Setelah selesai research, saya memilih untuk memesan hotel dari situs booking hotel online dan saya pakai booking.com daripada situs airbnb, vrbo, homeaway sekalipun mereka menawarkan harga per malam yang sama atau bahkan lebih murah. Alasan utama kami tidak memilih situs sejenis selama kami tinggal di Honolulu adalah karena pemilik memberlakukan biaya deposit dengan kisaran USD 250 - USD 400 dan proses pengembaliannya memakan waktu sekitar 5 hari hingga 2 minggu. Udah angkanya gede, ribet amat balik dari Honolulu ke Singapura masih ada tanggungan.

Berbekal iman, apa yang kita lihat dan kita baca - kita yakinkan diri untuk memesan hotel Aqua Ohia Waikiki. Hotel yang kami pilih berada di peringkat nomor 1 termurah versi booking.com dengan harga USD 105 per malam. Lokasi strategis dekat dengan pantai Waikiki, tempat makan, supermarket dan mall. Pokoknya sip! Gimana nggak pake iman karena ratingnya di booking.com cuma 7 out of 10, sedangkan di tripadvisor dan google ancur-ancuran dibully sekaligus dengan peringkat 3 out of 5. Duh!

Biaya yang harus kami keluarkan untuk 10 malam adalah USD 1463.75. Kok naik tajam?
Selain pajak ada biaya lain yang harus kami bayar - yaitu resort fee atau amenity fee sebesar USD 26.18 per malam untuk fasilitas yang mereka berikan berupa WIFI gratis, shuttle bus ke Ala Moana Shopping Centre, sewa DVD dan PS3, handuk kolam renang dan pantai, koran harian Hawaii di lobi, gratis kopi dan es teh setiap hari di lobi, dan gratis telepon lokal sepuasnya. Deal!

Bekal Makanan 
Suami sih sebenernya tidak terlalu ambil pusing soal makanan dan minuman, praktisnya - ya beli aja lah nanti di pesawat kalau menu dari pre-order kurang menggigit dan bikin kenyang; tapi saya mah nggak tega (baca : hemat) dan nggak seru aja juga rasa piknik di atas pesawat semacam kurang. Dengan penjelasan versi istri yang hemat dan cermat, pahamlah suami dan mengikuti kemauan istri.

Saya nggak rela beli air di pesawat kalo air jatah dari menu pre-order sudah habis; jadi saya mau bawa botol minum sendiri yang besar dan cukup untuk berdua. Saya woro-woro dengan suami, tidak mau beli air kemasan 1.5 literan dari supermarket lalu dikosongin lalu diisi lagi kalo sudah di boarding room - karena buat suami, yang namanya botol ya tetap saja botol; yang penting fungsinya. Yah, karena itu saya nolak duluan dan saya mengajak suami pergi ke Japan Home untuk beli botol air ukuran 1.5 liter yang biasa dibawa orang-orang untuk olahraga atau sekolah.

Kami berunding dan sepakat membawa menu utama dari rumah berupa setangkup homemade tuna sandwich lengkap dengan adonan tuna chunk, bawang merah dan mayonis dan makin spesial ditambah isian telur rebus dan jamur shimeji yang di-sautee dengan butter. Favorit saya dan suami, dan sudah kami bayangkan rasanya akan nikmat dan mengenyangkan sekali karena seberapa banyak isian bisa saya atur sendiri.

Selain tuna sandwich, ada kue lapis yang masih ada sisa sekitar 4-5 potong dari yang saya beli sebelumnya, kue kacang mede bulet-bulet ala kue lebaran dan tahun baru cina, juga buah jeruk mandarin ukuran kecil-kecil yang sudah saya kupas berikut potongan nanas lengkap yang saya beli dari supermarket lengkap dengan garamnya. Biasanya saya makan langsung makan nanas comot dari kemasan, nggak pake dipotong-potong - tapi demi perjalanan jauh dan nggak bisa bawa banyak-banyak...ya sudahlah. Ini masalah Psikologi, karena potongannya kecil-kecil makanya kelihatan banyak padahal jumlahnya tetap sama.

Saya sempat bingung memutuskan bagaimana membawa semua bekal itu dengan praktis; mau dengan kontainer plastik dengan ukuran seadanya yang ada di rumah - bekas kontainer makanan kalau kita bungkus makanan di tempat makan atau beli baru lagi? Dan beberapa hari sebelumnya, saya sengaja mampir ke ABC Store dekat rumah yang baru saja dibuka untuk cuci mata. Siapa tahu dapet yang pas, karena biasa bungkus makanan yang biasa kami dapat ukurannya standard - terlalu tebal dan makan tempat - dan rencana masing-masing makanan akan punya kontainer masing-masing; yang artinya waktu itu saya bawa 5 kontainer (2 untuk sandwich, dan masing-masing untuk kue lapis, kue kacang dan buah-buahan).

Disana saya melihat kontainer makanan dengan ukuran yang pas seperti yang ada di bayangan saya. Tidak terlalu tebal, dan tidak terlalu tipis ketinggiannya (17 x 11.7 x 4 cm). Harganya sekitar $1-$1.5 untuk 6 pcs. Buat saya ini adalah ukuran kontainer makanan yang pas, sayang tidak ada foto aslinya. (Update : baru belakangan ini saya beli kontainer stainless steel di Daiso Singapore toko serba $2, kurang lebih sama ukurannya)



Cetak Cetak Cetak 
Dari informasi yang kami baca, beberapa traveler mencetak dokumen dan bukti pemesanan supaya ada bukti yang kuat bahwa mereka melakukan pemesanan yang sah. Sedangkan, kami berdua tidak terbiasa mencetak dokumen dan bukti pemesanan di perjalanan kami yang lalu-lalu. Biasanya mentog bukti pemesanan hotel cukup kami screenshot, jadi sekalipun tidak ada sambungan internet - kami masih bisa membuka bukti pemesanan dan hal lainnya lewat gambar foto. Sejauh pengalaman kami berdua sih baik-baik saja.

Tapi kali ini kami sadar bahwa kami akan ke Honolulu, dan ini akan menjadi pengalaman pertama kami berdua menginjakkan kami ke negara bagian Amerika. Jangan sampai berakhir konyol karena satu dan lain hal, lagipula saat masuk ke imigrasi kami akan maju seorang diri kan? Selain kami simpan di e-mail; fotokopi paspor, akte pernikahan, tiket pesawat, bukti pemesanan hotel masing-masing kami bawa sendiri-sendiri.

Hari Keberangkatan 
Tiga hari sebelum keberangkatan, salah satu murid dari suami menawarkan untuk mengantar kami berdua ke bandara - selain bersyukur karena ada yang ikut antusias atas keberangkatan kami ke Honolulu untuk ikut kompetisi selain itu tentu saja lebih hemat dan lebih cepat.

Jika menggunakan transportasi massal (baca : MRT), kami butuh waktu sekitar 1 jam dari rumah untuk jalan kaki dan ganti jalur MRT berikut menunggu waktu MRT tiba menuju Changi Airport dengan biaya SGD 1.72 sekali jalan untuk pemegang kartu langganan; sedangkan taksi membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan biayanya SGD 12 - SGD 17 tergantung jam pergi sekali jalan.

Penerbangan kami dijadwalkan pk. 11.10. Murid dari suami dan suaminya menjemput kami pk. 8.30 atas permintaan suami. Mepet sekali waktunya? Ya, memang kami berdua tidak terlalu suka berangkat awal; jadi kami beri waktu sekitar 2 jam untuk menunggu di bandara.

Malam sebelumnya, kami sudah membereskan segala barang yang harus kami bawa ke dalam tas. Paling-paling, kami perlu mengeluarkan makanan dari kulkas dan membawanya bersama kami.

Pagi itu, setelah kami memasukkan koper dan bekal kami ke dalam mobil, saya merasa terganggu dengan bulu hidung suami yang menjuntai-juntai. "Duh, belum digunting malam kemarin - kan nggak mungkin dibiarkan makin menjuntai selama 10 hari ke depan" batin saya. Kami berdua memutuskan kembali ke rumah dan segera menggunting bulu hidung yang nggak penting itu, hahaha...

Selama di perjalanan, murid suami banyak bercerita tentang bagaimana dirinya berkenalan dengan si A yang berujung diperkenalkan ke suami olehnya, tentang rencana kelas di murid suami berjemaat. Sesekali ia menoleh ke belakang saat berbicara; dan suaminya lebih banyak diam.

Tiga puluh menit tidak terasa, kami telah tiba di Terminal 2 Changi Airport tempat maskapai penerbangan Scoot berada. Kami segera menurunkan barang bawaan dari mobil, mengucapkan terimakasih ke mereka berdua karena telah mengantarkan kami pagi ini.

Loh, kok...?
Bergegas kami mencari row 11-12. Saya melihat mesin self check-in tidak terlalu ramai diantre, malahan antrean langsung menuju loket yang dijagain Mbak Mbak dan Mas Mas sudah panjang mengular.  Datanglah kami ke mesin self check-in dan segera mengeluarkan paspor dari tas ransel. Paspor saya ada di tangan, dengan bungkus plastik lawas yang tetap awet usianya - didapat dari agen travel warna hijau di jaman pengurusan paspor waktu itu tren-nya di agen travel. Paspor lama dan baru saya ada di sana semua - tapi, punya suami?

Sekarang ini yang ada di depan mata hanyalah bungkus paspor kulit hadiah Natal dari murid-murid kelas suami yang lain, dan isinya mengecewakan. Paspor lama yang terselip disana. Saya sontak teringat, waktu lalu suami memindai halaman depan paspor untuk disimpan sebagai dokumen penting di e-mail dan rupanya setelah selesai dan mengerjakan ini itu, tergeletaklah si paspor tidur panjang di mesin pemindai. Wajah dan hati kami berdua sudah acak adul.

Suami berusaha berbicara dengan petugas lapangan yang berdiri di sekitaran mesin self check-in. Tidak ada pilihan lain selain mengambil paspor, jadi diiyakan saja oleh petugas. Suami sempat menghubungi muridnya di dalam perjalanan dengan harapan bisa menjemput lebih cepat, mondar-mandir sana-sini saya sarankan suami untuk ambil taksi di lantai bawah walaupun terkadang memang harus antre. Kami berdua berlari-lari untuk ingin segera tiba di pos taksi.

Kami minta taksi sedikit ngebut, menunggu sebentar suami ambil paspor dan segera kembali ke airport. Perjalanan balik ke rumah cukup lancar, tapi tidak di arah sebaliknya. Macet. Sembari di mobil, suami kembali menelepon petugas Scoot di lapangan dan memohon untuk memberikan informasi jika ada keterlambatan dalam keberangkatan.

Saya waktu itu sadar bahwa waktu sudah tidak terkejar - waktu itu pk. 10.15 dan kami masih terjebak di dalam perjalanan kembali ke Changi dan masih belum juga check-in, sedangkan boarding gate ditutup 1 jam sebelum keberangkatan. "Sekarang jam berapa? Rasanya sudah tidak mungkin," batin saya. "Coba tadi berangkat ke airport lebih awal," lanjut saya membatin dalam lamunan saya.

Dalam situasi ini saya belajar untuk tetap tenang dan tidak banyak bicara. Saya percayakan ke suami apapun keputusannya, karena saya tidak mau membuat situasi tambah panas dan melelahkan - apalagi saya kelaparan ditambah sakit kepala.
.
.
.
.

Popular Posts